KORDINAT.CO, Kutai Timur – Kekerasan terhadap anak dan perempuan di Kutai Timur (Kutim) terus meningkat dengan tren yang mengkhawatirkan.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kutim, Idham Cholid, menyebutkan bahwa pada tahun 2023 tercatat 42 kasus kekerasan, dengan mayoritas korban adalah anak-anak.
Pada tahun 2024, hingga bulan Juli, sudah ada 32 kasus yang dilaporkan, sebagian besar melibatkan anak-anak berusia 11 hingga 13 tahun.
DP3A terus berupaya memberikan pendampingan bagi korban, namun terkendala minimnya tenaga psikolog yang tersedia di wilayah tersebut.
“Kami terus melakukan pendampingan terhadap korban, termasuk membantu mereka mengatasi trauma agar bisa pulih lebih cepat,” ujar Idham acara lomba kreasi pada peringatan Hari Anak Nasional (HAN) di Kantor Bupati, Bukit Pelangi, Selasa (23/7/2024).
Namun, DP3A Kutim dihadapkan pada tantangan besar, yakni kekurangan tenaga psikolog. Saat ini, DP3A hanya memiliki dua psikolog umum, padahal idealnya diperlukan empat psikolog, termasuk psikolog forensik untuk menangani kasus-kasus khusus yang memerlukan penanganan lebih intensif.
“Kekurangan tenaga psikolog menjadi salah satu kendala utama kami dalam memberikan pendampingan yang optimal. Kami sangat membutuhkan tambahan psikolog, terutama psikolog forensik untuk membantu menangani kasus-kasus kekerasan berat,” jelasnya.
Untuk menanggulangi kekurangan ini, DP3A Kutim menjalin kerja sama dengan DP3A Kota Bontang dan Samarinda. Melalui kolaborasi ini, kasus-kasus yang memerlukan penanganan khusus bisa ditangani oleh psikolog yang ada di daerah tersebut.
Sinergi lintas wilayah ini diharapkan dapat memperkuat upaya pendampingan korban kekerasan, terutama anak-anak yang membutuhkan perawatan mental dan psikologis secara intensif.
Selain fokus pada pendampingan, DP3A juga giat melakukan berbagai upaya pencegahan kekerasan melalui program parenting dan penguatan keluarga.
Program ini dianggap krusial, mengingat banyak kasus kekerasan terhadap anak terjadi di lingkungan terdekat, seperti yang dilakukan oleh anggota keluarga seperti ayah tiri, saudara tiri, tetangga, atau bahkan kakak ipar.
Menurut Idham, faktor ekonomi dan kondisi lingkungan yang tidak layak juga menjadi pemicu utama terjadinya kekerasan.
“Banyak kasus terjadi karena situasi lingkungan yang tidak memadai, seperti rumah yang tidak memiliki kamar layak, sehingga memicu kekerasan di dalam keluarga,” tambahnya.
Lebih lanjut, DP3A Kutim juga menekankan pentingnya kolaborasi lintas Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dalam menangani kasus-kasus kekerasan ini.
Sinergi yang melibatkan berbagai pihak, mulai dari instansi pemerintahan hingga komunitas masyarakat, sangat diperlukan untuk menciptakan sistem perlindungan yang lebih komprehensif dan efektif.
“Kami berharap, dengan kerja sama lintas OPD, penanganan kasus kekerasan dapat dilakukan secara lebih terpadu dan solutif, sehingga tidak hanya memberikan perlindungan tetapi juga mencegah kekerasan terjadi di masa mendatang,” jelas Idham.(ADV/et).